helitha novianty
Rabu, 13 Oktober 2010
Penghilangan Pasal dalam Undang-Undang
Perumusan Undang-Undang di DPR RI sarat dengan intervensi dari pihak asing (pihak luar) yang berkepentingan, terbukti dengan adanya kasus hilangnya pasal tentang tembakau dalam RUU kesehatan,
Penghilangan salah satu ayat dalam UU Kesehatan 2009 pertama kali diumumkan oleh empat lembaga, yakni Tobacco Control Network, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komisi Perlindungan Anak (KPA). Keempat lembaga ini pula yang menjadi pioner mengadvokasi upaya penghilangan klausul tersebut ke ranah hukum untuk diusut tuntas sebagai tindak pidana.
Kisah penghilangan salah satu ayat pada Pasal 113 UU Kesehatan 2009 berkaitan dengan pengendalian tembakau yang mengandung nikotin yang membahayakan kesehatan masyarakat. Ayat yang berusaha dihilangkan adalah ayat 2 yang berbunyi: "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat...."
Dari segi prosedural, pihak yang biasanya melakukan penyisiran kembali sebuah naskah RUU yang sudah final dibahas dan telah disetujui dalam rapat paripurna adalah sekretariat komisi atau panitia khusus (pansus) yang bersangkutan
Bertolak dari segi ini, secara teknis pengusutan bisa diawali pada pegawai dan/atau pejabat yang menangani naskah undang-undang yang terlibat pada dua institusi, mulai dari sekretariat Komisi /Pansus, Sekretariat Jenderal DPR hingga ke Sekretariat Negara.
Pada dua instansi tersebut kemungkinan besar proses penghilangan terjadi karena secara prosedural, naskah RUU yang final dibahas dan disahkan melalui sidang paripurna DPR dikirim oleh staf Setjen DPR kepada Sekretariat Negara untuk ditandatangani Presiden dan dimasukkan ke dalam lembaran negara.
Pegawai dan/ atau pejabat yang berupaya menghilangkan ayat dalam UU Kesehatan harus diberi sanksi yang setimpal karena perbuatan dapat digolongkan tindak pidana. Selain itu, tindakan seperti itu besar kemungkinan bukan kelalaian semata karena ayat 2 yang dihilangkan diganti oleh ayat 3 yang digeser menjadi ayat 2 sehingga nampak ada perubahan.
Perbuatan penghilangan baru diketahui setelah membandingkan bagian penjelasan UU yang masih berjumlah tiga ayat, dan nampaknya luput dihilangkan secara bersama-sama dengan isi yang berada didalam batang tubuh UU.
Bila hasil pengusutan terbukti sebagai perbuatan yang disengaja, perbuatan penghilangan ayat dalam UU merupakan bentuk contempt of parliament (Penghinaan terhadap Parlemen) dan kepada mereka yang terlibat harus dikenakan hukuman penjara.
Penghilangan pasal juga dapat disebut penghianatan Sifat Penghianatan Intern (hoogveraad) yang ditujukan untuk mengubah struktur kenegaraan atau struktur pemerintahan yang ada, termasuk juga tindak pidana terhadap kepala negara jadi mengenai keamanan intern (inwendige veiligheid) dari negara yang terdapat dalam pasal 104,106,107,108,110.
Menghilangkan pasal dalam undang-undang juga ternasuk dalam tindakan sabotase yang dapat digolongkan dalam tindak pidana subversi yang termuat dalam Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 tanggal 16 Oktober 1963, tindak pidana ini yang oleh pasal 13 ayat 5 diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau selama 20 tahun.
Namun bila hasil pengusutan sebaliknya, hanya sekadar kelalaian tetap harus diberi sanksi administratif karena kelalaian semacam ini dapat berakibat fatal terhadap sebuah kebijakan nasional strategis yang berdampak luas pada masyarakat.
Langganan:
Postingan (Atom)