helitha novianty

helitha novianty

Jumat, 16 Juli 2010

KEBIJAKAN OTOMOTIF NASIONAL (INPRES NO.2 TAHUN 1996) DITINJAU DARI PRINSIP EKONOMI INTERNASIONAL

A. PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Negara adalah subjek hukum Ekonomi Internasional yang Utama.dari segi perkembangan hukum ekonomi internasional Negara adalah subjek hukum yang paling penting.Hubungan-hubungan ekonomi Internasional banyak didominasi oleh kebijakan Negara di dalamnya.[1]

Peran penting Negara tampak pula dalam keanggotaan berbagai organisasi ekonomi internasional pada umumnya.dalam GATT kemudian diambil alih oleh WTO hanya Negara saja yang berhak menjadi anggotanya[2].Yang menjadi perhatian khusus hukum ekonomi internasional dalam halnya dengan Negara ini tampaknya adalah tingkat pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Dalam hal ini hukum ekonomi internasional kerap kali membuat diskriminasi positif terhadap Negara sedang berkembang (Developing Countries), Negara kurang maju (least developing countries) dan Negara-negara yang berada dalam transisi dari Negara-negara yang terencana secara terpusat ke system ekonomi pasar(Negara-negara sosialis) di eropa timur.[3]

Badan perdagangan dunia WTO membagi kalsifikasi Negara menjadi empat bagian yakni developing countries (Negara sedang berkembang),least-developed countries (Negara kurang maju) dan net food-importing developing countries (Negara sedang berkembang pengimpor makanan)[4] dengan adanya klasifikasi Negara-negara tersebut aturan atau ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban Negara-negara ini pun akan berbeda.[5]

Negara sebagai subjek hukum ekonomi internasional memiliki kedaulatan.kedaulatan digunakan untuk menggambarkan otonomi dan kekuasaan Negara untuk membuat aturan-aturan hukum (hukum nasional) yang berlaku di wilayahnya dan membuat lembaga-lembaga negara[6]

Negara memiliki kedaulatan internal yang meliputi hak Negara untuk memilih dan melaksankan sisten ekonominya.dalam kasus timor putera nasional ini berkaitan erat dengan kedaulatan internal suatu Negara,kebijakan pemerintah mengenai otomotif nasional ini diwujudkan melalui inpres no 2 tahun 1996.

Program Mobil Nasional merupakan suatu inisiatif untuk mendukung perkembangan industri mobil nasional. Industri otomotif nasional telah diproteksi selama lebih dari 25 tahun namun tidak ada peningkatan efesiensi yang berarti dan tidak terjadi pendalaman struktur industri. Oleh karenanya pemerintah mengeluarkan kebijakan program Mobil Nasional yang dituangkan dalam Inpres No.2 tahun 1996 mengenai Program Mobil Nasional sebagai terobosan di sektor otomotif Indonesia, yang bertujuan untuk mempercepat kemajuan dan kemandirian bangsa Indonesia dalam industri otomotif. Kebijaksanaan tersebut mendapat reaksi dari berbagai kalangan, di antaranya adalah reaksi dari Jepang yang mempunyai kepentingan terhadap industri otomotifnya yang menguasai hampir 90% pangsa mobil Indonesia dan juga reaksi dari Amerika dan negara-negara Eropa yang mempertanyakan kebijakan tersebut, berkaitan dengan rencana investasi mereka dalam industri otomotif Indonesia. Setelah mencoba berdialog dengan pemerintah Indonesia dan mendapat penjelasan, Jepang tetap tidak dapat mengerti mengenai kebijakan tersebut yang menurut mereka telah melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas dengan adanya diskriminasi dari pemerintah Indonesia. Kemudian melalui Wakil Menteri Perdagangan Internasional dan Industri, Jepang menyatakan bahwa mereka akan membawa masalah ini ke WTO setelah mendapat konfirmasi bahwa mobil impor buatan Korea Selatan mendapatkan perlakuan khusus.[7]

2. IDENTIFIKASI MASALAH

1) Bagaimanakah kebijakan otomotif nasional yang dituangkan dalam Inpres no 2 Tahun 1996 ditinjau dari Prinsip-Prinsip Hukum Ekonomi Internasional?

2) Adakah pengecualian prinsip-prinsip hukum Ekonomi internasional kepada Negara sedang berkembang seperti Indonesia?

B. PEMBAHASAN

1) Kebijakan otomotif nasional (inpres no 2 tahun 1996) ditinjau dari prinsip – prinsip hukum ekonomi Internasional

Terdapat 10 Prinsip-prinsip hukum ekonomi internasional antara lain :

a. Prinsip standar minimum

Prinsi ini menyatakan adalah kewajiban negara untuk sedikitnya memberikan jaminan perlindungan kepada pedagang atau pengusaha asing dan harta miliknya.[8]

b. Prinsip perlakuan yang sama (identical treatment)

Dewasa ini prinsip ini lebih dikenal dengan istilah resiprositas (reciprocity) perlakuan yang sama demikian biasanya tertuang dalam suatu perjanjian baik yang sifatnya multilateral maupun bilateral.[9]

Prinsip ini merupakan prinsip fundamental Dalam GATT. Prinsip ini tampak pada Preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tariff yang didasarkan atas dasar timbale balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak.[10]

c. Prinsip perlakuan nasional (national treatment)

Prinsip ini mensyaratkan suatu Negara untuk memperlakukan hukum yang sama yang diterapkan terhadap barang-barang,jasa-jasa atau modal asing yang telah memasuki pasar dalam negerinya dengan hukum yang diterapkan terhadap produk-produk atau jasa-jasa yang dibuat di dalam negeri.[11]

Prinsip National Treatment terdapat dalam pasal III GATT. Menurut

Prinsip ini produk dari suatu Negara yang diimpor ke dalam suatu Negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Prinsip ini sifatnya berlaku luas. Prinsip ini juga berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan lainnya. Ia berlaku pula terhadap perundangan –perundangan pengaturan dan persyaratan-persyaratan (hukum) yang memengaruhi penjualan, pembelian pengangkutan, distribusi dan penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan terdhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan administrative atau legislative.[12]

d. Prinsip-prinsip dasar atau Klausul “Most-Favoured-Nation(MFN)

Prinsip most-favoured-nation (MFN)ini termuat dalam pasal 1 GATT.Prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non diskriminatif. Menurut prinsip ini, semua anggota terikat untuk memberikan Negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan eksport serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya.[13]

Pada pokoknya klausul MFN ini adalah prinsip non diskriminasi di antara Negara-negara. Prinsip ini mensyaratkan suatu Negara harus memberikan hak kepada Negara lainnya sebagaimana halnya ia memberikan hak serupa kepada Negara ketiga.[14]

e. Prinsip Menahan Diri Untuk Tidak Merugikan Negara Lain

Dalam perjanjian-perjanjian internasional mengenai masalah-masalah ekonomi telah mengakui adanya suatu kewajiban kepada Negara-negarauntuk tidak menimbulkan beban-beban ekonomi kepada Negara lain karena adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi domestic Negara lain.[15]

f. Prinsip tindakan pengaman : Klausul penyelamat (safeguards and escape clause)

Perjanjian perjanjian internasional dirasakan terlalu membebani Negara, karena itu agar perjanjian – perjanjian tersebut berfungsi maka dibuatlah suatu kalausul penyelamat (escape Clause atau safe guards clause) biasanyaklausul demikian memberikan kemungkinan – kemungkinan penanggalan sutu kewajiban tertentu bagi suatu Negara , biasanya Negara berkembang atau miskin[16]

g. Prinsip preferensi bagi Negara sedang berkembang

Adalah pinsip yang mensyaratkan perlunya sutu kelonggaran – kelonggaran atas aturan hukum tertentu bagi Negara-negara sedang berkembang.[17]

h. Prinsip penyelesaian sengketa secara damai

Negara-negara kerapkali memasukkan cara-cara damai yaitu negosiasi atau konsultasi dalam perjanjian internasionalnya.kecenderiungan sekranag ialah dengan dicantumkannya kalusul yang mensyaratkan, apabila kedua cara tersebut gagal para pihak kan menyerahkan sengketanya kepada pihak ketiga yang netral misalnya arbitrase.[18]

i. Prinsip kedaulatan Negara atas kekayaan alam, Kemakmuran dan kehidupan ekonominya

Jose Casteneda sarjana hukum internasional terkemuka dari maeksiko memperkenalkan prinsip ini bahwa menurut Casteneda hukum ekonomi harus memuat serangkaian ketentuan, termasuk di dalmnya lembaga-lembaga, praktik, metode dan prinsip-prinsip yang mengatur dan menjamin perlindungan efektif terhadap kekayaan alam khususnya kekayaan alam Negara sedang berkembang.[19]

j. Prinsip kerjasama internasional

Yang mendasari prinsip ini adalah tanggung Jawab Kolektif dan solidaritas untuk pembangunan dan kesejahteraan bagi semua Negara.Kewajiban hukum untuk kerjasama ini mencakup semua bidang ekonomi internasional.[20]

Sengketa Mobnas RI ditinjau dari Prinsip Hukum Ekonomi internasional

Perkara pengaduan Jepang ke WTO bermula dari keluarnya Inpres No. 2 /1996 tentang program Mobnas yang menunjuk PT Timor Putra Nusantra (TPN) sebagai pionir yang memproduksi Mobnas. Karena belum dapat memproduksi di dalam negeri, maka keluarlah Keppres No. 42/1996 yang membolehkan PT TPN mengimpor mobnas yang kemudian diberi merek "Timor", dalam bentuk jadi atau completely build-up (CBU) dari Korea Selatan.[21]

Sengketa ini menyangkut program mobil nasional (Mobnas) RI.Program diluncurkan pada tahun 1993 ketika pemerintah mengeluarkan rencana mobnasnya. Berdasarkan program ini, pemerintah memberikankeuntungan (perlakuan khusus) dalam bentuk tarif dan pajak kepada produsen mobil Indonesia. Keuntungan ini diberikan kepada produsen yang bersedia menggunakan kandungan dalam negeri untuk mobnas (the local content of the finished vehicles).[22]

Kebijakan ini dikembangkan pada tahun 1996 ketika pemerintah secara resmi meluncurkan 'Program Mobil Nasional'. Program ini diberikan kepada perusahaan pionir, yaitu perusahaan Indonesia bernama PT Timor. PT Timor juga diberi hak untuk mengimpor 45,000 mobil jadi dari perusahaan Korea, the Korean Motor Corporation.[23]

Selain itu, PT TPN diberikan hak istimewa, yaitu bebas pajak barang mewah dan bebas bea masuk barang impor. Hak itu diberikan kepada PT TPN dengan syarat menggunakan kandungan lokal hingga 60 persen dalam tiga tahun sejak mobnas pertama dibuat. Namun bila penggunaan kandungan lokal yang ditentukan secara bertahap yakni 20 persen pada tahun pertama dan 60 persen pada tahun ketiga tidak terpenuhi, maka PT TPN harus menanggung beban pajak barang mewah dan bea masuk barang impor. Namun, soal kandungan lokal ini agaknya diabaikan selama ini, karena Timor masuk ke Indonesia dalam bentuk jadi dari Korea. Dan tanpa bea masuk apapun, termasuk biaya pelabuhan dan lainnya.[24]

Perusahaan atau produsen mobil asing yang berada di Indonesia, yaitu perusahaan dari Jepang, Masyarakat Eropa (ME) dan Amerika Serikat (AS) protes. Mereka mengklaim program Mobnas ini diskriminatif dan melanggar aturan perdagangan internasional berdasarkan GATT. Jepang, ME dan AS melancarkan klaim secara terpisah mengenai program Mobnas Indonesia ini.[25]

Masalah Mobil Nasional kemudian dibawa ke World Trade Organization oleh Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa yang turut mengajukan keluhan mengenai mobil nasional ke WTO . Mereka menilai bahwa kebijakan pemerintah tersebut sebagai wujud diskriminasi dan oleh karena itu melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas[26]

WTO memutuskan bahwa Indonesia telah melanggar Prinsip-Prinsip GATT yaitu National Treatment dan menilai kebijakan mobil nasional tersebut dinilai tidak sesuai dengan spirit perdagangan bebas yang diusung WTO, oleh karena itu WTO menjatuhkan putusan kepada Indonesia untuk menghilangkan subsidi serta segala kemudahan yang diberikan kepada PT. Timor Putra Nasional selaku produsen Mobil Timor dengan menimbang bahwa :

a) Penghapusan bea masuk dan penghapusan pajak barang mewah yang oleh pemerintah hanya diberlakukan pada PT. Mobil Timor nasional merupakan suatu perlakuan yang diskriminatif dan tentu saja akan sangat merugikan para investor yang telah terlebih dahulu menanamkan modalnya dan menjalankan usahanya di Indonesia. Dengan diberlakukannya penghapusan bea masuk dan pajak barang mewah terhadap mobil timor, hal ini dapat menekan biaya produksi sehingga membuat harga mobil timor di pasaran menjadi lebih murah, hal tersebut akan mengancam posisi investor asing yang tidak dapat menrunkan harga jual produknya, dalam persaingan pasar yang tidak sehat seperti itu, investor asing pasti akan sangat dirugikan.

b) Untuk menciptakan suatu perdagangan bebas yang efektif dan efisien, GATT dalam aturan aturannya telah berusaha menghapuskan segala hambatan dalam perdagangan internasional, antara lain adalah hambatan-hambatan perdagangan Non Tarif, oleh karena itu kebijakan Pemerintah Indonesia yang menetapkan keharusan aturan persyaratan kandungan local terhadap investor asing dinilai sebagai upaya pemerintah dalam menciptakan suatu hambatan peragangan non tarif guna memproteksi pasar dalam negeri dari tekanan pasar asing. Kebijakan tersebut merupakan salah satu strategi pemerintah untuk memproteksi pasar Mobil Timor agar tidak kalah bersaing dengan produsen mobil dari luar negeri. Instrumen kebijakan tersebut tentunya sangat merugikan pihak produsen mobil dari luar negeri, dan dapat menciptakan suatu iklim persaingan yang tidak sehat.[27]

Selain itu dalam sengketa mobil nasional RI, Indonesia tidak melaksanakan kewajibannya dalam prinsip menahan diri untuk tidak merugikan orang lain.dengan kebijakan Domestik (inpres nomor 2 tahun 1996) ini Indonesia telah memberikan beban ekonomi bagi Negara lain.

2) Pengecualian prinsip-prinsip hukum ekonomi Internasional terhadap Negara-negara sedang berkembang

Terdapat prinsip mengenai preferensi Negara sedang berkembang adalah prinsip yang mensyaratkan perlunya sutu kelonggaran tas aturan hukum tertentu bagi Negara-negara sedang berkembang ,artinya Negara – Negara ini perlu mendapt perlakuan khusus manakala Negara-negara maju berhubungan dengan mereka. Perlakuan khusus ini misalnya berupa pengurangan bea masuk untuk produk-produk Negara sedang berkembang ke dalam pasar Negara maju[28]

Contoh system yang nyata dewasa ini adalah pemberian GSP (generalized System of Preferences) atau system preferensi umum oleh Negara-negara maju kepada negar-negara miskin dan berkembang. Hal ini menjadi suatu bagian hukum dari GATT yang menanggalkan prinsip-prinsip perdagangan yang mulai berlaku efektif pada waktu dikeluarkannya hasil-hasil putaran perundingan Tokyo tahun 1979.[29]

Dasar teori dari system preferensi ini adlah bahwa Negara-negara harus diperbolehkan untuk menyimpangi dari kewajiban-kewajiban MFN untuk memperbolehkan mereka guna mengurangi tarifnya pada impor-impor barang manakala barang-barang tersebut berasal dari Negara-negara sedang berkembang. Menurut mereka hal itu akan memberikan Negara-negara sedang berkembang suatu keuntungan kompetitif tertentu dalam masyarakat industry yang menjadi sasran ekspor.[30]

Perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) memuat kurang lebih 145 ketentuan khusus, dikenal dengan istilah Special and Differential Treatment (S&D), bagi anggota-anggota WTO yang berasal dari negara-negara sedang berkembang (NSB). Meskipun telah menjadi bagian integral dari Perjanjian WTO, secara teoretis eksistensi S&D tersebut masih mengundang kontroversi. Sekilas, eksistensi S&D tampak inkonsisten dengan filosofi dasar Perjanjian WTO sendiri, yakni liberalisme. Sebagaimana yang terlihat dari istilah yang digunakan dan definisinya, S&D menghendaki adanya suatu perbedaan perlakuan di WTO yang menguntungkan anggota-anggota yang berasal dari NSB. Filosofi liberal WTO, terutama yang tercermin dari prinsip-prinsip Most-Favoured Nation Treatment (MFN) dan National Treatment (NT), menghendaki perlakuan yang sama terhadap semua anggota.[31]

Perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang (Special dan Differential Treatment for developing countries – S&D).Untuk meningkatkan partisipasi nagara-negara berkembang dalam perundingan perdagangan internasional, S&D ditetapkan menjadi salah satu prinsip GATT/WTO. Sehingga semua persetujuan WTO memiliki ketentuan yang mengatur perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi negara-negara berkembang anggota WTO untuk melaksanakan persetujuan WTO.[32]

Jika suatu negara mengalami peningkatan impor yang signifikan dan tiba-tiba serta mengancam perekonomian nasional maka ini disebut sebagai injury. Jika terkena injury maka suatu negara berhak melakukan tindakan safeguards dengan pembatasan impor untuk melindungi perekonomian nasional. Tindakan safeguards ini pada hakikatnya merupakan penyimpangan terhadap prinsip free fight liberalism, namun terpaksa harus dilakukan demi keberlangsungan perekonomian nasional khususnya kepada negara-negara berkembang yang rentan terhadap injury semacam itu.[33]

Oleh karena itu, WTO melakukan suatu perlakuan khusus terhadap negara-negara berkembang sesuai salah satu prinsip yaitu Special and Differential to Developing Nations yang dapat mengecualikan suatu negara (berkembang) untuk dimaafkan bila terpaksa melanggar kesepakatan WTO.[34]

Safeguards adalah hak darurat membatasi impor apabila terjadi peningkatan impor yang menimbulkan serious-injury terhadap industri domestik. Tindakan safeguards tidakboleh diterapkan terhadap suatu produk yang berasal dari suatu negara berkembang yang menjadi anggota perjanjian ini jika pangsa impor dari produk tersebut tidak lebih dari 3% (tiga persen). Namun larangan penetapan tindakan safeguards terhadap negara berkembang yang menjadi anggota perjanjian yang pangsa impornya kurang dari 3% hanya berlaku bila secara kolektif pangsa negara berkembang tidak lebih dari 9% (sembilan persen) dari keseluruhan impor produk yang bersangkutan.[35]

Ketentuan mengenai safe guard terdapat dalam pasal XIX GATT pasal ini memberikan hak sepihak kepada Negara-negara untuk menangguhkan suatu kewajiban-kewajiban internasional selama jangka waktu tertentu seperti penangguhan untuk pembebasan pemberlakuan tariff .[36]

Penanguhan demikian itu diperbolehkan hanya dalam hal-hal tertentu manakala keadaan perdagangan internasional akan mengakibatkan kerugian terhadap industry dalam negeri suatu Negara. Teorinya yaitu bahwa penanggalan untuk jangka waktu tertentu terhadap ketatnya aturan-aturan internasional harus diberikan untuk memberikan suatu Negara atau sector-sektor industry atau ekonomi tertentu agar dapat menyesuaikan diri kepada kondisi-kondisi baru demi mendorong persaingan internasional.[37]

Selanjutnya ditentukan bahwa negara berkembang mendapat hak untuk memperpanjang jangka waktu penerapan suatu tindakan safeguards yang dilakukannya untuk suatu kurun waktu sampai melebihi 2 (dua) tahun di luar batas maksimal yang normal. Negara tersebut juga dapat menerapkan kembali suatu tindakan safeguards terhadap suatu produk yang pernah menjadi subjek tindakan semacam itu untuk suatu kurun waktu yang sama dengan setengah dari jangka waktu tindakan sebelumnya, atau tidak kurang dari dua tahun.[38]

Prinsip tindakan penyelamat ini seperti diatur dalam Pasal XIX GATT merupakan pasal penting, khususnya bagi Negara yang sedang berkembang termasuk RI. Sudah banyak kasus masuknya produk asing impor ke dalam pasar RI telah mematikan produk dalam negeri. Namun sayangnya pemerintah terkesan lambat menyaksikan telah terjadi proses “kematian” produsen dalam negeri. Hal ini tampaknya kurang dimanfaatkannya pasal mengenai safeguard ini untuk melindungi produsen dalam negeri.[39]

C. PENUTUP

1. KESIMPULAN

1) Kebijakan otomotif nasional yang dilakukan oleh Indonesia melalui Inpres no 2 tahun 1996 dinilai telah melanggar prinsip ekonomi Internasional khususnya prinsip non diskriminasi dan prinsip menahan diri untuk tidak merugikan orang lain akibat kebijakan domestic suatu Negara

2) Prinsip Safe Guards merupakan prinsip yang dapat dikecualikan bagi Negara-negara sedang berkembang, Negara berkembang juga mendapat hak untuk memperpanjang jangka waktu penerapan suatu tindakan safeguards yang dilakukannya untuk suatu kurun waktu sampai melebihi 2 (dua) tahun di luar batas maksimal yang normal. Negara berkembang tersebut juga dapat menerapkan kembali suatu tindakan safeguards terhadap suatu produk yang pernah menjadi subjek tindakan semacam itu untuk suatu kurun waktu yang sama dengan setengah dari jangka waktu tindakan sebelumnya, atau tidak kurang dari dua tahun.


DAFTAR PUSTAKA


A. Buku

Huala Adolf,Hukum Ekonomi Internasional,Raja Grafindo Persada Jakarta,2005

Huala Adolf,Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers,Jakarta,2005

World Trade Organisation

Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Raja Garfindo, Persada, Jakarta, 2002.



[1] Huala adolf,Hukum Ekonomi Internasional,Raja Grafindo Persada Jakarta,2005,hlm.71

[2] ibid

[3] Ibid,hlm 72

[4] Ibid,hlm 74

[5] ibid

[6] Ibid hlm 243

[7] www.google.com, 5 April 2009,16.00 WIB

[8] Huala adolf,Hukum Ekonomi Internasional,Raja Grafindo Persada Jakarta,2005,hlm.28

[9] Ibid,hlm 29

[10] Huala Adolf,Hukum Perdagangan Internasional,Rajawali Pers,Jakarta,2005,hlm116

[11] Huala adolf,Hukum Ekonomi Internasional,Raja Grafindo Persada Jakarta,2005,hlm.30

[12] Huala Adolf,Hukum Perdagangan Internasional,Rajawali Pers,Jakarta,2005,hlm116

[13] Ibid,hlm 108

[14] Huala adolf,Hukum Ekonomi Internasional,Raja Grafindo Persada Jakarta,2005,hlm.31

[15] Ibid,hlm 35

[16] Ibid,hlm 38

[17] Ibid,hlm 40

[18] Ibid,hlm 41

[19] Ibid,hlm 43

[20] Ibid

[21] www.google.com, 09 April 2009,13.00WIB

[22] Huala adolf,Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO),www.google.com,10 april 2009,16.00 WIB

[23] Ibid

[24] www.google.com,10 April 2009,16.00WIB

[25] Ibid

[26] www.google.com,7 april 2009,13.00 WIB

[27] www.google.com,7 april 2009,13.00 WIB

[28] Huala adolf,Hukum Ekonomi Internasional,Raja Grafindo Persada Jakarta,2005,hlm.41

[29] Ibid

[30] Ibid

[31] World Trade Organisation,www.google.com, 10 April 2009, 15.00WIB

[32] World Trade Organisation,www.google.com, 10 April 2009, 15.00WIB

[33] ibid

[34] ibid

[35] ibid

[36] Huala adolf,Hukum Ekonomi Internasional,Raja Grafindo Persada Jakarta,2005,hlm 38

[37] Ibid

[38] ibid

[39] ibid

1 komentar: